Sebagian bahkan merasa
terpaksa karena dieksploitas orang tua, bekerja untuk membantu ekonomi
keluarga, padahal mereka usia sekolah dasar.
"Setiap
hari terlihat anak-anak turun ke jalanan untuk mencari nafkah seperti
di pasar, stasiun kereta api (KA), terminal bus dan sejumlah tempat
lainnya," kata pemerhati sosial, Musa Weliansyah, di Rangkasbitung,
Jumat (24/07).
Mereka
bekerja sebagai pengamen, tukang semir, pembantu rumah tangga, pedagang,
tukang sapu dalam gerbong kereta api, pemulung, pengemis, dan pencuci
kendaraan.
Selain itu, juga banyak anak-anak di pedalaman Kabupaten Lebak menjadi pengembala ternak kerbau atau di ladang.
"Kami merasa prihatin dengan banyak anak-anak bekerja untuk mencari nafkah keluarga itu," katanya.
Dia
juga mengatakan, pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran
melalui APBD untuk membiayai kegiatan penanganan anak jalanan.
Selama ini, kata dia, anggaran untuk penanganan anak jalanan tidak ada.
Dia
menjelaskan, anak jalanan merupakan masalah sosial yang harus segera
ditangani karena akan menimbulkan masalah sosial lainnya di tengah
masyarakat, misalnya keterlibatan mereka dalam tindak kriminal.
Jika mereka tidak ditangani secara komprehensif pasti akan menimbulkan masalah sosial di lingkungan masyarakat, katanya.
Dia
menyebutkan, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat bahwa pada
tahun 2004 lalu di Indonesia terdapat 1,4 juta anak berusia 10-14 tahun
yang menjadi pekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Sebagian besar dari mereka tidak mendapat peluang untuk bersekolah sehingga masa depan mereka pun kian suram.
"Kami berharap pemerintah daerah segera turun tangan untuk menangani anak-anak agar mereka tidak bekerja di jalanan," katanya.
Armin
(11) seorang pemulung warga Rangkasbitung Timur Kabupaten Lebak,
mengaku dirinya terpaksa berhenti sekolah dasar kelas 3 karena orangtua
tak mampu membiayai pendidikan. Apalagi, orangtuanya sudah lama
menganggur dan sering sakit-sakitan.
"Selama ini keluarga bisa makan dari hasil memulung plastik dan barang-barang rongsokan itu," katanya.
Armin
mengaku dirinya dan kakaknya Yanto (14) yang sama-sama pemulung setiap
hari mendapatkan uang antara Rp15-20 ribu dan sisanya diberikan kepada
orangtua untuk beli beras dan lauk pauk.
"Kami setiap hari dengan kakak harus bekerja jika tidak bekerja tentu dimarahi orangtua," katanya.
Sementara
itu, Hendra (13) seorang pengembala kerbau di Kecamatan Leuwidamar
Kabupaaten Lebak mengaku dirinya kini sudah tidak sekolah lagi karena
orangtua melarang bersekolah.
"Kami berhenti sekolah saat duduk di bangku madrasah ibtidaiyah atau setara sekolah dasar," katanya.(http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/15748-pekerja-anak-bantu-ekonomi-keluarga)
0 komentar:
Posting Komentar